Bab 2. Metode Salafus Shalih Dalam Penetapan Aqidah
Bab ini mencakup lima pembahasan:
- Sumber Aqidah
- as-Sunnah Merupakan Wahyu Yang Terjaga
- as-Sunnah Merupakan Hujjah
- as-Sunnah Merupakan Hujjah Yang Mandiri
- Hadits Ahad Hujjah dalam Aqidah
[1] Sumber Aqidah
Aqidah adalah perkara tauqifiyah, artinya tidak bisa ditetapkan
kecuali apabila dilandasi dengan dalil dari Sang pembuat syari’at.
Aqidah bukanlah medan pemikiran dan ruang untuk berijtihad. Oleh sebab
itu sumber aqidah itu hanya terbatas pada apa yang dijelaskan di dalam
al-Kitab maupun as-Sunnah. Sebab, tidak ada yang lebih mengetahui
tentang Allah dan apa yang wajib baginya serta perkara-perkara yang
Allah tersucikan darinya selain Allah sendiri. Dan tidak ada selain
Allah orang yang lebih mengerti tentang hal itu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh sebab itu manhaj/metode salafus shalih dan orang-orang yang
mengikuti mereka dalam mengambil aqidah adalah terbatas pada al-Kitab
dan as-Sunnah (lihat Kitab at-Tauhid li as-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 11)
[2] as-Sunnah Merupakan Wahyu Yang Terjaga
Yang dimaksud dengan Sunnah di sini adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
selain daripada apa yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an. Apa saja
yang beliau sampaikan -dalam urusan agama ini- pada hakekatnya merupakan
wahyu dari Allah ta’ala, bukan hasil rekayasa pemikiran beliau.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya, akan tetapi itu semata-mata wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3-4).
Dan Allah ta’ala telah berjanji untuk menjaga wahyu yang diturunkan kepada Nabi-Nya, sebagaimana ditegaskan oleh-Nya dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr dan Kami pula yang akan menjaganya.” (QS. al-Hijr: 9)
(lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 71-72)
Syubhat: Sebagian orang beranggapan bahwa kita tidak
mungkin berpegang dengan as-Sunnah/hadits karena hadits itu baru
dituliskan beberapa ratus tahun setelah meninggalnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawaban: Tuduhan bahwa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
baru dituliskan beberapa ratus tahun setelah wafatnya adalah dugaan
yang keliru dan ucapan tanpa bukti. Di antara dalilnya adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa suatu ketika seorang
penduduk Yaman bernama Abu Syah meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dituliskan apa yang dia dengar dari khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun penaklukan kota Mekah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tuliskanlah -isi khutbahku- untuk Abu Syah.” (lihat Fath al-Bari [1/250-251], Syarh Muslim [5/256-257]).
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Tidak
ada seorang pun sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih
banyak haditsnya daripada aku kecuali apa yang ada pada Abdullah bin
Amr, karena dia selalu mencatat sedangkan aku tidak mencatat.” (lihat Fath al-Bari [1/251])
Dalil lainnya, adalah hadits yang riwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim dll dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya senantiasa mendengar apa yang anda sampaikan kemudian saya pun mencatatnya.” Beliau menjawab, “Iya.” Abdullah berkata, “Dalam keadaan -anda- murka ataupun ridha?”. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya. Karena sesungguhnya aku tidak mengucapkan kecuali kebenaran.” (lihat hadits yang lainnya dalam al-Hadits an-Nabawi oleh Dr. Muhammad Luthfi, hal. 42-43)
[3] as-Sunnah Merupakan Hujjah
Sunnah dalam terminologi ahli ushul merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selain al-Qur’an. Maka dalam pengertian ini, sunnah itu mencakup ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
perbuatannya, persetujuannya, tulisan yang beliau tinggalkan, isyarat
yang beliau berikan, tekad dan juga sikap beliau dalam meninggalkan
sesuatu.
Dalam makna ini maka sunnah itu bisa disamakan dengan istilah
al-Hikmah yang sering disebutkan beriringan dengan al-Kitab di dalam
ayat-ayat al-Qur’an. Seperti misalnya, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah
menurunkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah, dan Allah mengajarkan
kepadamu apa-apa yang kamu tidak ketahui, dan karunia Allah atas dirimu
sungguh sangat besar.” (QS. an-Nisaa’: 113).
Oleh sebab itu Imam asy-Syafi’i rahimahullah menukil keterangan ulama ahli tafsir bahwa yang dimaksud dengan al-Hikmah di sini adalah Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 122)
Kaum muslimin telah sepakat mengenai wajibnya taat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keharusan untuk mengikuti Sunnahnya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun
Sunnah ini, apabila ia telah terbukti keabsahannya maka segenap kaum
muslimin telah sepakat mengenai kewajiban untuk mengikutinya.”
Di antara dalil-dalil yang melandasinya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah:
taatilah Allah dan taatilah Rasul, apabila kalian berpaling maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir itu.” (QS. Ali Imran: 32).
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Hendaknya
merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan rasul itu, karena
mereka akan tertimpa fitnah atau merasakan siksaan yang sangat pedih.” (QS. an-Nur: 63).
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidak
pantas bagi seorang beriman lelaki ataupun perempuan apabila Allah dan
rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian ternyata masih ada
bagi mereka pilihan yang lain dalam menyelesaikan urusan mereka.” (QS. al-Ahzab: 36).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian,
apabila kalian berselisih tentang perkara apa saja maka kembalikanlah
kepada Allah dan rasul, apabila kalian benar-benar beriman kepada Allah
dan hari akhir.” (QS. an-Nisaa’: 59).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan yang semisal dengannya bersama hal itu.” (HR. Abu Dawud, dll).
Beliau juga bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah itu sama kedudukannya dengan apa yang diharamkan oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah)
(lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 124-125)
[4] as-Sunnah Merupakan Hujjah Yang Mandiri
Sunnah dapat dibagi menjadi tiga bagian apabila ditinjau dari keterkaitannya dengan dalil-dalil al-Qur’an. Pertama:
Sunnah yang menjadi penegas; yaitu Sunnah yang sama persis kandungannya
dengan kandungan dalil atau ayat al-Qur’an dari segala sisi. Kedua: Sunnah yang menjadi penjelas atau penafsir terhadap perkara-perkara yang disebutkan secara global saja oleh ayat al-Qur’an. Ketiga:
Sunnah yang bersifat mandiri atau menambahkan sesuatu yang memang tidak
disinggung di dalam al-Qur’an. Sunnah semacam ini bisa berupa
keterangan mengenai wajibnya sesuatu yang hukumnya didiamkan oleh
al-Qur’an, artinya al-Qur’an tidak membicarakan mengenai wajibnya hal
itu. Atau bisa juga berupa keterangan mengenai haramnya sesuatu yang
hukumnya didiamkan oleh al-Qur’an, artinya al-Qur’an tidak membicarakan
mengenai haramnya hal itu (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 123)
Yang dimaksud di sini adalah hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang berbicara tentang suatu perkara yang tidak disebutkan oleh
al-Qur’an. Hadits-hadits semacam itu biasa disebut para ulama dengan
istilah Sunnah Istiqlaliyah atau Sunnah Za’idah. Kaum salaf telah sepakat bahwasanya wajib mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
entah itu yang sifatnya memberikan keterangan yang serupa, menafsirkan,
atau yang memberikan keterangan tambahan yang tidak ada di dalam
al-Qur’an. Dalilnya adalah dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban
berhujjah dengan as-Sunnah, karena dalil-dalil itu bersifat umum dan
tanpa pembatasan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80).
Ibnu Abdil Barr berkata, “Allah jalla wa ‘azza memerintahkan untuk taat kepada-Nya -yaitu rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam-
serta mengikutinya dengan perintah yang mutlak dan global tanpa
memberikan batasan apapun, sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk
mengikuti Kitabullah, sementara Allah juga tidak mengatakan; ‘Cocokkan
dulu dengan Kitabullah’ sebagaimana pendapat sebagian kelompok
menyimpang.”
Adapun sebuah hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bunyinya, “Apa
saja yang datang dariku kepada kalian hendaklah kalian hadapkan kepada
Kitab Allah. Kalau sesuai dengan Kitab Allah maka itu berarti aku memang
mengucapkannya, dan apabila ternyata menyelisihi Kitab Allah maka aku
tidak pernah mengucapkannya…” Ini adalah hadits palsu yang
dibuat-buat oleh kaum Zindiq dan Khawarij sebagaimana ditegaskan oleh
Abdurrahman bin Mahdi (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 126)
[5] Hadits Ahad Hujjah Dalam Aqidah
Hadits/khabar ahad dalam istilah ahil ushul adalah selain mutawatir
-hadits mutawatir ialah yang banyak jalur periwayatannya-, sehingga yang
disebut khabar ahad adalah semua khabar/hadits yang tidak memenuhi
syarat mutawatir. Sesungguhnya khabar ahad itu merupakan
hujjah/landasan dalam hal hukum maupun akidah tanpa ada pembedaan di
antara keduanya, dan hal ini merupakan perkara yang disepakati oleh para
ulama salaf.
Dalil yang menunjukkan wajibnya menerima khabar ahad dalam persoalan-persoalan akidah adalah
dalil-dalil yang mewajibkan beramal dengan khabar ahad, sebab
dalil-dalil tersebut bersifat umum dan mutlak tanpa membeda-bedakan
antara satu persoalan (bidang ilmu) dengan persoalan yang lain.
Kemudian, selain itu pendapat yang menyatakan bahwa khabar ahad tidak
diterima dalam masalah akidah akan melahirkan konsekuensi tertolaknya
banyak sekali akidah sahihah. Pembedaan perlakuan terhadap hadits yang
berbicara masalah hukum dengan hadits yang berbicara masalah akidah
adalah perkara baru yang tidak diajarkan oleh agama, dikarenakan
pembedaan ini tidak berasal dari salah seorang sahabat pun, demikian
juga tidak dibawa oleh para tabi’in atau pengikut mereka, dan hal itu
juga tidak dibawakan oleh para imam Islam, akan tetapi pembedaan ini hanyalah muncul dari para pemuka ahli bid’ah dan orang-orang yang mengikuti mereka (diringkas dari Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 148-149).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan di dalam kitabnya Muhtashar Shawa’iq (2/412) sebagaimana dinukil oleh Syaikh al-Albani rahimahullah, “Pembedaan ini -antara masalah akidah dan amal dalam hal keabsahan berhujjah dengan hadits ahad- adalah batil dengan kesepakatan umat.
Karena hadits-hadits semacam ini senantiasa dipakai sebagai hujjah
dalam perkara khabar ilmiah -yaitu akidah- sebagaimana ia dipakai untuk
berhujjah dalam perkara thalab/tuntutan dan urusan amaliah…” (lihat Muntaha al-Amani, hal. 117, baca pula keterangan Syaikh Abdullah al-Fauzan dalam kitabnya Syarh al-Waraqat, hal. 214)
Betapa indah ucapan Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah, “Semua yang datang di dalam al-Qur’an atau sahih dari al-Mushthafa -yaitu Nabi Muhammad- ‘alaihis salam yang berbicara tentang sifat-sifat ar-rahman maka wajib beriman dengannya dan menerimanya dengan kepasrahan dan penuh penerimaan…” (Lum’at al-I’tiqad, yang dicetak bersama Syarh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan tahqiq Asyraf bin Abdul Maqshud, hal. 31)
Catatan: Apabila kita cermati ucapan emas Ibnu
Qudamah di atas, maka akan teranglah bagi kita bahwa keyakinan bahwa
hadits sahih -termasuk di dalamnya hadits sahih yang berstatus ahad-
merupakan hujjah dalam hal aqidah merupakan keyakinan para imam ahlus
Sunnah di sepanjang jaman, bukan hasil ijtihad pemikiran Ibnu Taimiyah
atau Ibnul Qayyim rahimahumallah -sebagaimana disangka oleh sebagian orang-. Dari mana bisa kita simpulkan demikian? Perhatikanlah… Ibnu Qudamah hidup antara tahun 541-612 H. Adapun Ibnu Taimiyah hidup antara tahun 661-728 H. Demikian pula Ibnul Qayyim hidup antara tahun 691-751 H.
Ini artinya Ibnu Qudamah lebih dahulu hidup dan lebih dahulu meninggal
daripada Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Apakah kita akan mengatakan
bahwa Ibnu Qudamah telah mengekor kepada Ibnu Taimiyah dan Ibnul
Qayyim?! Subhanallah… betapa aneh dan ganjilnya logika berpikir semacam itu..
Lebih daripada itu semua kalau kita mau cermati sebuah ungkapan yang
sangat populer dari para imam yang empat -yang notabene mereka ada
sebelum Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim- “Apabila hadits itu sahih maka itulah madzhab/pandanganku.”
Aduhai, apakah kita akan mengatakan bahwa yang mereka maksud dengan
ucapan itu hanya dalam masalah fiqih/hukum saja? Sejak kapan mereka
berkata demikian dan mana buktinya? Lalu apakah kita juga akan
mengatakan bahwa imam yang empat mengekor kepada Ibnu Taimiyah dan Ibnul
Qayyim?! Subhanallah, keajaiban apalagi yang ingin mereka ciptakan?! Allahul musta’aan.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar